Opini

Jumat 12 Agustus 2016 | 18:05 WIB

Laporan: Drs. H. Lalu Suhaimi Ismy

Menghadirkan Berkah SDA di Tanah NTB

Drs. H. LALU SUHAIMI ISMY

Dalam sebuah keragaman sejatinya tersimpan harapan dan optimisme. Dalam hal apa pun, termasuk bidang sumber daya alam seperti di Tanah Air, terutama Nusa Tenggara Barat (NTB). Dengan adanya keragaman, keunggulan pun menjadi niscaya. Shifthing the good Apples out demikian Alchian dan Allen menyebutnya. Karena kualitas dan keunggulan, sesuatu menjadi lebih disukai dan nilainya tentu saja juga menjadi lebih tinggi.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, daerah atau negara yang memiliki keunggulan ini tak mesti terlalu banyak bersolek, karena ia sudah terlihat menarik dengan sendirinya. Faktanya, negara-negara dengan kekayaan dan keragaman sumber daya alam memang dapat lebih leluasa memacu pertumbuhan ekonomi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Lihatlah bagaimana teorama tersebut dapat berjalan dengan baik di negara-negara yang memiliki keunggulan dalam bidang sumber daya alam, baik minerba maupun fosil. Dan Norwegia merupakan salah satu negara yang yang mampu membuktikannya.

Bila dibandingkan dengan Arab Saudi, Iran maupun Venezuela, cadangan sumber daya alam (migas) negara di Semenanjung Skandinavia ini memang tidak ada apa-apanya. Namun bila dilihat dari rasio elektrifikasi, bauran energi, dan tentu saja indeks prestasi manusianya, maka Norwegia bisa dikatakan yang paling baik sedunia. Kenapa demikian?

Perusahaan migas negara Norwegia atau Statoil awalnya tak memiliki kemampuan untuk mengelola sendiri sumur minyak lepas pantainya. Namun sejak menggandeng perusahaan swasta lokal untuk mengelola migas, peruntungan Statoil pun berubah drastis. Dari perusahaan migas kelas teri yang pada tahun 1972 pernah kita tolak untuk mengelola Blok Alpha D Natuna, menjadi perusahaan migas kelas dunia. Hampir 25% PDB negara ini merupakan sumbangan dari pendapatan migas yang berasal dari Statoil.

Sebagai negara yang memiliki keragaman sumber daya energi, Indonesia semestinya juga menyimpan cadangan optimisme dan daya kreatif tersebut. Sumber daya alam baik berupa emas, tembaga, perak, uranium dan hasil tambang lainnya, maupun sumber daya energi berbentuk fosil seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara yang melimpah. Pun demikian dengan jenis energi non fosil seperti panas bumi, air, sinar matahari, angin dan bio-energi seakan tiada habisnya di NTB.

Nusa Tenggara Barat terutama Tanah Sumbawa menyimpan kekayaan yang tak terkira berupa materi tambang seperti biji besi, tembaga, dan emas. PT Newmont Nusa Tenggara merupakan perusahaan besar pertama yang menambang emas dan tembaga di Sumbawa, yaitu di kawasan Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat. Setelah itu, ada rencana membuka penambangan tembaga dan emas di Blok Dodo Rinti di Kabupaten Sumbawa.

Potensi pertambangan juga banyak terdapat di Kabupaten Bima dan Dompu. Kepala Bidang Pertambangan Dinas Koperasi, Perindustrian, Perdagangan, dan Pertambangan Kabupaten Dompu Jufri mengatakan, penambangan pasir besi di lereng Tambora di Celebai sudah mulai dilakukan.

"Potensi (tambang) lainnya adalah emas dan tembaga di Kecamatan Huú. Ada juga potensi energi panas bumi geotermal di Kecamatan Kempo. Dengan potensi sekitar 69 megawatt, cukup untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Pulau Sumbawa.

Sektor pertambangan, yang sebagian terbesar berada di Pulau Sumbawa menjadi penyumbang terbesar kedua setelah pertanian di NTB, dengan kontribusi 18,63 persen. Itu pun masih banyak potensi tambang yang belum digarap. Seperti di Dompu, ada potensi tambang mangan, tetapi eksplorasinya terkendala karena berada di kawasan hutan negara.

Sayangnya, fakta di lapangan tak semasis di atas kertas. Sumber daya alam yang melimpah tersebut, ternyata belum juga membuat kehidupan masyarakat NTB kian membaik. Akses jalan yang tidak memadai, kurangnya pasokan BBM sehingga harga-harga menjadi melambung tinggi, serta konflik sosial di sekitar pertambangan masih muncul tak terduga.

Menurut Richard Authy, negara-negara yang kaya akan sumber daya alam memang paling tidak akan mengalami dua hal. yang pertama tentu saja seperti apa yang dialami Norwegia, kekayaan dari apa yang dimilikinya. Dan yang kedua adalah apa yang disebut sebagai kutukan sumber daya alam, recource curse. Bila dalam perjalannya sebuah negara kaya mampu mengelola sumber daya alamnya dengan baik, maka kesejahteraanlah yang niscaya akan didapatnya. Sebaliknya, bila dalam perkembangan selanjutnya sebuah negara keliru dalam mengelola sumber daya alamnya, maka bersiaplah untuk menerima kutukan yang mengerikan tersebut.

NTB merupakan sebuah tanah dengan kekayaan alam yang melimpah, namun tak kunjung menyejahterakan penduduknya. Alih-alih kesejahteraan, yang didapat malah membawa malapetaka. Para cukong berebut untuk mendapatkan hak pengelolaan sumber daya alam, sementara para penduduk di sekitar lokasi sumber daya alam tersebut tak mendapat apa-apa.

Kekayaan alam ternyata bukannya menyalurkan kesejahteraan ke tangan masyarakatnya. Kekayaan alam justru membuat kemiskinan kian merajalela dan konflik sosial bermunculan dimana-mana. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana kasus negosiasi PT Newmont di NTB malah berlarut-larut.

Alangkah kaya rayanya negeri ini dilimpahi sumber daya alam termasuk sumber energi minyak dan gas (migas). Terbentang dari ujung barat hingga ujung timur nusantara. Namun ironisnya, rakyat Indonesia terutama penduduk di sekitar areal tambang belum sepenuhnya bisa menikmati hasil kekayaan bumi pertiwi tersebut secara merata.

Sebagai negara yang dianugerahi sumber daya alam yang melimpah ruah, Indonesia seharusnya tak hanya bisa menjadi tuan rumah yang baik bagi investor, tapi juga bisa berdaulat di negeri sendiri. Bila tidak, maka alih-alih menjadi faktor kesejahteraan, sumber daya alam yang melimpah malah menjadi kutukan yang menyengsarakan rakyatnya. Inikah yang dimaksud dengan kutukan itu?

Drs. H. Lalu Suhaimi Ismy

Anggota DPD RI

TAG BERITA

Comment