Opini

Jumat 18 Nopember 2016 | 21:43 WIB

Laporan: Amir Fiqi

Tegakkan Supremasi Hukum pada Kasus Ahok

Amir Fiqi

Pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat melakukan kunjungan kerja di pulau Pramuka, Kepulauan Seribu yang mengutip Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 51 berbuntut panjang dan menjadi permasalahan yang serius. Pernyataan yang dilontarkan oleh pria yang akrab disapa Ahok ini dianggap mengusik keimanan  sebagian besar ummat Islam yang berujung aksi damai pada 4 November 2016. Dari segi jumlah, massa aksi damai ini  dinilai lebih besar dibanding massa aksi unjuk rasa pada Mei 1998 yang berhasil melengserkan Soeharto dari kursi presiden. Bahkan menurut Internasional Herald Tribune ini merupakan aksi terbesar sejak Indonesia merdeka.  

Pernyataan Ahok tidak sepenuhnya oleh masyarakat dinilai menistakan agama. Respon ummat Islam pun terbelah dua. Ada yang menilai  bahwa pernyataan  Ahok telah menistakan agama dengan menghina kesucian al-quran yang selama ini mereka yakini. Dan ada yang merespon sebaliknya. Perbedaan sikap ini seharusnya harus dibarengi dengan kedewasaan. Bukan malah perbedaan tersebut menjadi bahan untuk saling mencibir dan mencela antar anak bangsa.

Apabila melihat situasi berkehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, kasus Ahok menjadi bahan perselihan yang tajam dan  sengit. Masyarakat disibukkan dengan perasaan  paling benar sendiri dan menganggap pihak yang bersebrangan dengan cara pandang mereka  dianggap  bersalah dan menjadi musuh. Tak ayal memunculkan hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan bagi masyarakat yang beradab.  Saling menghina, Saling mencela, saling menjatuhkan bahkan saling menebar informasi yang belum tentu kebenarannya menjadi makanan sehari-hari,  baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Bagi penulis, yang lebih  mengkhawatirkan adalah kegiatan menebar kebencian di media sosial. Ini sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa. Pasalnya media sosial tidak dibatasi ruang dan waktu. Semua elemen masyarakat bisa mengaksesnya. Apabila hal  ini dibiarkan dan terjadi terus menerus maka  rasa tali  persaudaraan antar anak bangsa yang selama ini terjaga akan luntur dan akan berdampak sangat mengerikan bagi keutuhan bangsa.

Saat ini, media sosial seakan-akan menjadi medan "pertempuran" bagi kedua belah kubu. Mereka saling menyerang dengan kata-kata pedas dan tidak pantas. Inilah yang justru makin memperuncing perbedaan. Bahkan yang lebih miris lagi perbedaan sikap ini ditunjukkan dengan menghilangkan  rasa sopan santun  terhadap para tokoh agama maupun tokoh masyarakat yang dianggap tidak sejalan dengan cara pandang mereka. Padahal sejati mereka merupakan public figure yang memiliki peran besar dalam menjaga moral bangsa.

Hal di atas sudah tidak sejalan lagi nilai-nilai masyarakat Indonesia yang selama ini dinilai sebagai masyarakat yang  menjujung tinggi  sikap ramah dan santun. Apalagi kepada orang yang dianggap lebih tua dan memiliki peran besar di masyarakat. Bila sikap ini telah pudar di benak hati  anak bangsa,  maka Indonesia seiring berjalannya waktu akan kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang ramah dan santun.

Bersahabat dengan perbedaan.

Di era demokrasi saat ini yang  memungkin seluruh masyarakat bebas  mengekspresikan gagasan dan pemikirannya seharusnya menjadi modal besar bagi perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Namun yang terjadi malah sebaliknya kebebasan  justru dijadikan alat untuk saling menjatuhkan dan melecehkan antar anak bangsa. Meskipun tidak dapat dipungkuri masih ada juga memberikan masukan yang konstruktif. Masukan yang konstruktif  inilah yang seharusnya menjadi budaya dalam iklim demokrasi di negeri ini.

Banjir informasi yang ada di media sosial apabila digunakan untuk hal-hal yang membangun,  maka akan menjadi kekuatan besar bagi bangsa Indonesia  untuk segera  bangkit dari ketertinggalannya selama ini. Namun, apabila banjir informasi ini justru dijadikan alat untuk saling menghujat, menghina, menjatuhkan dan memfitnah antar sesama,  maka akan menjadi banjir bandang yang dapat meluluhlantakkan bangunan bangsa dalam bingkai NKRI yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa selama ini.

Mari Jadikan perbedaan di tengah masyarakat menjadi wahana untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang konstruktif. Gagasan yang mencerahkan guna memberi masukan kepada pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sejati reformasi yang bergulir pada 1998 bertujuan untuk membuka ruang-ruang dan kanal-kanal komunikasi politis bagi masyarakat yang selama 32 tahun diberangus oleh rezim Orde Baru. Reformasi menghantarkan era baru, dimana masyarakat bebas mengungkapkan gagasan dan kritiknya terhadap pemerintah. Ruang publik pun digelar selebar mungkin bagi masyarakat. Sehingga dapat dikatakan di era reformasi telah mampu membuka ruang atau kanal komunikasi politis antara rakyat dan penguasa yang selama ini dikekang dan dibatasi oleh rezim otoriter.

Tegakkan Supremasi Hukum  

Aksi damai 4 November merupakan wujud bahwa bangunan demokrasi telah terbangun. Jurgen Habermas sebagaimana dikutip F. Budi Hardiman dalam bukunya Demokrasi Deliberatif (2009) mengatakan bahwa demonstrasi merupakan komunikasi yang dilindungi oleh konstitusi. Ini merupakan langkah yag harus ditempuh untuk membuka komunikasi politis dengan pemerintah yang masih mengabaikan aspirasi publik. Khususnya aspirasi pihak yang menginginkan bahwa pemeritah secara tegas dan cepat menyelesaikan permasalahan penistaan agama yang telah dilakukan Ahok. Serta menuntaskan permasalahan ini dengan menjujung tinggi supremasi hukum. Pasalnya selama ini publik berasumsi bahwa pemerintah terlihat melindungi Ahok.

Saat ini Ahok telah ditetapkan menjadi tersangka atas dugaan penistaan agama. Hal ini merupakan langkah positif oleh Kepolisian  yang patut diapresiasi. Dengan mendengarkan aspirasi masyarakat dan menjujung supremasi hukum Kepolisian telah melakukan langkah yang tepat guna menjaga stabilitas nasional.

Maka dari itu, saat ini yang harus dilakukan adalah bagaimana mengawal proses hukum agar penegakan hukum dapat berjalan seadil-adilnya. Jangan sampai penegakan supremasi hukum ternodai oleh kekuatan-kekuatan kepentingan segelintir orang. Jika hal tersebut terjadi maka hukum yang seharusnya sebagai garda terdepan menjaga nilai-nilai keadilan telah hilang kekukuatannya. Kalau sudah demikian maka jangan salah people power yang akan bekerja dan menjadi pejuang dalam penegakan hukum. Semoga Supremasi hukum di negeri ini tetap terjaga. Sehingga nilai-nilai keadilan di negeri ini akan berdiri kokoh dalam melindungi anak bangsa.  

*Penulis merupakan mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta. 

Comment