Opini
Minggu 10 Mei 2020 | 16:43 WIB
Laporan: Susanto
Membangun Negeri “Tanpa” Korupsi (Bagian 3) : Pelaksanaan “Asas Kepastian Hukum dan Kemanfaatan” Perppu No.1 Tahun 2020
1. Asas Kepastian Hukum
Setiap Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menjunjung tinggai asas kepastian hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Istilah Asas kepastian hukum dapat juga kita temukan di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme dan didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kedua undang-undang tersebut menjadikan dasar penyelenggara pemerintahan untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan baik yang berasaskan kepastian hukum. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Setiap Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menjunjung tinggai asas kepastian hukum,
Landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam Perppu No.1/2020 adalah adanya peraturan perundang-undangan dalam Perppu No.1/2020 yaitu : Pasal 22 ayat (l) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang isinya berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Umumnya Perppu selain UUD NRI Tahun 1945 juga menyertakan undang-undang yang terkait dengan Perppu tersebut. Seperti dalam Perppu No.2/2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan landasan hukum menyebutkan Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam Perppu No.1/2020 sepertinya dianggap merupakan peraturan yang baru karena tidak ada UU yang sama dengan Perppu No.1/2020.
Jika dikaji lebih mendalam beberapa ketentuan dalam Perppu No.1/2020 dapat disebut sebagai Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Adapun Istilah Pendemi Corana Virus Desease 2019 (Covid-19) hanya sebagai alasan pembenaran untuk mengeluarkan Perppu ini.
Landasan hukum telah ada dalam Perppu No.1/2020, namun hanya ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sedangkan mengenai peraturan perundang-undangan mengenai keuangan negara misalnya UU No.20/2019 Tentang APBN Tahun Anggaan 2020 karena secara umum Perppu No.1/2020 melakukan perubahan terhadap APBN Tahun 2020. Semestinya ketentuan-ketentuan mengenai perubahan penggunaan anggaran dan anggaran mana yang akan diubah disebutkan secara jelas dalam Perppu No.1/2020 agar menjadi rujukan untuk menggunakan anggaran.
Secara teori Undang-Undang tentang APBN tidak boleh direvisi oleh Perppu. Bukan hanya tidak boleh, tetapi haram hukumnya. Hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan (APBN-P). Dengan Perppu No.1 Tahun 2020 kekuasaan dan fungsi Anggaran DPR sebagaimana diatur Pasal 20 A dan Pasal 23 UUD dan Pasal 28, Pasal 177 huruf C angka 2, Pasal 180 ayat 6 dan Pasal 182 UU MD3 menjadi hilang.
Tiada pencantuman ketentuan mengenai UU APBN membuat Perppu No.1/2020 melanggar Landasan Kepatutan karena sepatutnya UU/Perppu saat dibuat harus memperhatikan ketentuan UU yang telah ada.
Kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, tidak menentukan apa yang disebut dengan kegentingan yang memaksa. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 telah menentukan 3 (tiga) syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.
Jika hal tersebut kita kaitkan dengan keberadaaan Perppu No.1/2020, Apakah Perppu tersebut telah memenuhi syarat-syarat Negara dalam keadaan bahaya sehingga menimbulkan kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945 ?, Syarat yang pertama yaitu adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, rasanya tidak ada karena sampai saat ini Presiden belum mengeluarkan pernyataan Negara dalam keadaan Bahaya. Dan dalam Perppu tersebut tidak menjadikan pasal 12 UUD sebagai dasar hukum (mengingat). Sebelum menerbitkan Perppu presiden belum menerbitkan negara dalam keadaan bahaya/genting.
Tinjauan asas kepastian hukum meski dalam proses pembentukan Perppu No.1/2020 terdapat kejanggalan, alasan keadaan yang genting dan memaksa yang masih belum sesuai tanpa mengesampingkan uji materi Perppu No.1/2020 hadirnya Perppu No.1/2020 bisa dijadikan dasar pejabat terkait penanganan covid-19 tanpa membebaskan mereka dari tuntutan korupsi dalam pelaksanaannya.
2. Asas Kemanfaatan
Adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita.
Dalam Perppu No.1/2020 setidaknya ada 4 hal yang diatur yaitu : Kebijakan Keuangan Negara, Stabilitas Sistem Keuangan, Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (negara).
Gunawan Widjaja (2020) menyatakan bahwa Pandemi covid-19 didunia mempengaruhi terhadap :
- Perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional.
- Penurunan penerimaan negara.
- Peningkatan belanjan negara dan pembiayaan.
- Pemburukan sistem keuangan yang disebabkan penurunan aktivitas domestic.
Tinjauan asas manfaat ini lebih ke dalam bidang perekonomian dan keadaan kesehatan masyarkat. Hal ini merujuk pada konsep negara kesejahteraan yang menginginkan negara dalam keadaan bahagia, sehat dan sukses. Keadaa adanya pandemic covid-19 membuat kondisi negara kita dalam keadaan diliputi kekhawatiran dan kepanikan atas seriusnya penyebaran covid-19. Dengan kebijakan Perppu No.1/2020 diharapkan masyarakat bisa memahami mengenai keadaan negara yang siap dari sisi keuangan negara dalam penanganan covid-19.
Kondisi negara dalam keadaan sehat juga menjadi bagian dari konsep tujuan negara kesejahteraan. Perppu No.1/2020 secara jelas merupakan bentuk penanganan cvd-19 yang focus juga dalam penanganan kesehatan masyarakat secara masal. Menurut penulis sendiri upaya dalam Perppu No.1/2020 mencerminkan asas manfaat. Namun demikian adanya Perppu No.1/2020 tidak membebaskan pejabat negara dari tuntutan telah melakukan korupsi.
*) Penulis adalah Dosen Universitas Pamulang
Comment