Opini

Rabu 26 April 2017 | 00:00 WIB

Laporan: Maruf Muttaqien

BOGOR MEMANG KOTA (NYAMAN) ‘BUITENZORG’

bogor

Visione.co.id - Matahari baru menyingsing di Ciasmara (waterlove), sebuah desa di kaki Gunung Salak. Dua orang “belekesenteng” tampak tergesa-gesa dengan membawa sekarung pakaian di pundaknya. Burung-burung, lutung dan cangehgar saling bersahutan menandai datangnya pagi. Sesaat setelah matahari menerpa wajah mereka, salah satu dari mereka mempercepat langkahnya. Dia setengah berlari, karena takut para pembeli di Pasar Cianten keburu ramai. Rupanya mereka bermaksud menjual dagangan di pasar kaget dekat Perkebunan Teh PTPN VIII Cianten, yang hari itu mulai ‘bayaran’ atau gajihan.

Kang, tolong beli hp ini 300.000 saja”, kata salah satu ‘belekesenteng’ sambil menyodorkan handphone seri terbaru kepada pemuda yang baru saja membeli hasil bumi dan beberapa potong pakaian. Bila dibeli di toko, handphone tersebut harganya masih sekitar 2 juta rupiah. Namun mereka jual murah, lantaran kehabisan uang untuk modal bertani.

Di sudut desa lainnya, beberapa orang ‘bujang’ tampak sibuk merapihkan talas, jagung, dan bungkusan kecil ikan asin untuk mereka jajakan. Sambil menunggu para pembeli, si bujang merogoh saku dan mengambil satu batang roko, lalu dihisapnya bersamaan dengan segelas kopi hitam.

Di daerah kami, yang namanya pasar memang tidak terpusat di satu lokasi. Namun bisa di banyak lokasi. Penamaannya pun tidak berdasarkan lokasi, melainkan berdasarkan hari. Makanya ada yang dinamakan ‘poe pasar’ atau hari pasar; ada pasar senen, pasar selasa, pasar rabu dan seterusnya. Keberadaan pasar-pasar ini tentu saja untuk mengatasi jauhnya jarak yang harus ditempuh ke pasar utama di Kota Bogor.

Entah sejak kapan kami menyebut daerah Kota Bogor itu dengan ‘Bogor’ saja tanpa ‘Kota’. Jadi, meskipun kami lahir di daerah Bogor, namun bila hendak ke pusat kota kami menyebutnya mau ke ‘Bogor’. Tak heranlah bila ‘Sobri’ salah satu tokoh cerita dalam sinetron ‘Dunia Terbalik’ ketika hendak bertemu dengan kekasihnya ‘Dedeh’ selalu menyebut mau ke ‘Bogor’. Karena bagi kami ‘Bogor’ memang berbeda.

Mungkin, itu sebabnya Bogor dahulu kala disebut Buitenzorg. Karena memang khusus dibangun untuk para penguasa dan tuan tanah. Adalah Pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang membangun Kota Bogor untuk tempat peristirahatan mereka (1740). Untuk itu dibangunlah Istana Bogor.

Bagi para penguasa, pengusaha, tuan tanah dan para centeng Belanda, Kota Bogor memang merupakan Kota yang nyaman atau ‘Buitenzorg’. Tapi bagi kami Kota Bogor hanyalah tempat bising, dan kami selalu merasa asing bila berada di sana. Ya, sejak nenek moyang kami dipaksa untuk menjadi buruh pemetik teh di kaki Gunung Halimun Salak, atau buruh penyadap karet di perkebunan di sepanjang Cigudeg hingga Parung Panjang atau sejak dibangun Tambang Emas Pongkor lalu orang-orang di desa kami juga ‘dipaksa’ untuk menjadi buruh tambang, hingga sekarang ketika muncul perselisihan antara pengemudi angkutan kota (angkot) dengan angkutan online, kami selalu merasa asing.

Itu karena kami tahu bila apa yang diambil dari tanah-tanah kami tidak kembali ke desa-desa kami tapi mengalir ke kota. Sebetulnya kami tak tinggal diam, buktinya adalah keberadaan ‘gurandil’. Para penambang yang seringkali disebut sebagai ‘penambang liar’ yang setiap detik nyawanya terancam; entah tertimbun tanah, kehabisan napas, atau bahkan terpeleset ke jurang. Entah sudah berapa ratus orang tetangga kami yang tak kembali ke rumah. Para gurandil murni sebelum meletus kerusuhan di Ciguha tahun 98an, hanya ingin mendapatkan manfaat yang lebih besar dari apa yang ada di sekitarnya.

Ketika perkebunan teh tak memberikan manfaat yang lebih kami juga tak tinggal diam. Sulitnya mendapatkan aliran listrik tak menjadi penghalang bagi kami untuk melanjutkan kehidupan. Kami pun membangun pembangkit listrik dengan teknologi mikrohidro seperti yang dilakukan Abah Ugi di Kasepuhan Ciptagelar.

Maka pantaslah kiranya jika banyak orang yang menganggap ‘Bogor’ sebagai entitas yang berbeda dengan kami. Bila sudah begitu, kenapa pula kami tidak segera diberi keleluasaan untuk mengelola sumberdaya alam kami sendiri. Manfaatkan sepenuhnya tambang-tambang emas, galena, pasir dan perkebunan teh dan sawit untuk kesejahteraaan kami warga di sekitar kaki Gunung Salak hingga Parung Panjang dan Gunung Sindur sana.

Gayung harusnya bersambut, karena mau apa lagi…Bupati sendiri mengaku bila Kabupaten Bogor sudah tidak sanggup mendorong pembangunan untuk penduduk yang semakin membludak (5,5 juta jiwa). Padahal, Tanah, air, emas dan kekayaan alam lainnya ada di desa-desa kami yang selama ini kurang tersentuh pembangunan. Maka tidak salah bila Bogor kemudian disebut Kota yang Nyaman bagi ‘mereka’ bukan kita: masyarakat terpencil di Garehong, Muara, Tanjung Sari, Pasir Honje, Pasir Madang, Sipak, Koleang, Cikasunka, hingga Pangasinan yang berbatasan dengan Serpong-Tangerang Selatan. [ ]

Waterlove, 23 Maret 2017

TAG BERITA

Comment