Opini

Sabtu 02 Mei 2020 | 20:22 WIB

Laporan: Tri Pujiati

Pemberitaan Media di Masa Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Linguistik Terjemahan

Tri Pujiati, S.S., M.M., M.Hum.

Pandemi Covid-19 telah menjadi perbincangan menarik di berbagai media akhir-akhir ini. Virus yang disebut-sebut berasal dari Wuhan, China tersebut kini menjadi momok bagi manusia di seluruh dunia. Pun demikian kondisi ini juga terjadi di negara kita tercinta, Indonesia. Akibat dari pandemi ini banyak kebijakan yang diambil oleh pemerintah, misalnya dengan melakukan locdown, social distancing, physical distancing. Work from, home, Learning From Home, dan lain sebagainya.

Pada pemberitaan media, banyak sekali istilah-istilah asing yang digunakan oleh pewarta. Merujuk pada pemakaian istilah tersebut, terlihat banyak kosakata yang digunakan berasal dari bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jika ditelisik dari kajian terjemahan, maka perlu melihat ekivalensi atau kesepadanan kosa kata atau istilah tersebut dalam bahasa Indonesia sehingga makna yang disampaikan dapat tersampaikan kepada pembaca maupun pendengar. Dalam kajian terjemahan, maksud atau pesan yang ingin disampaikan oleh teks sumber atau bahasa sumber harus sepadan dalam bahasa sasaran atau teks sasaran. Dalam menerjemahkan, tidak semua teks sumber selalu diterjemahkan secara per kata atau bentuk kelas kata dalam teks sumber diterjemahkan sama persis dengan kelas kata dalam bahasa sasaran. Mengapa demikian? karena masing masing bahasa memiliki struktur yang berbeda beda.

Sedikit penulis kupas tentang dua konsep kesepadanan yang diungkap Eugene A. Nida (1964: 165). Pertama, kesepadanan formal berorientasi pada teks sumber. Artinya bahwa penerjemahan didesain untuk menghadirkan teks bahasa sasaran yang sama seperti bentuk dan isi pesan pada teks bahasa sumber. Pada konsep ini, terlihat bahwa penerjemah berupaya untuk menerjemahkan teks sumber ke dalam teks sasaran sama persis bentuk dan isinya. Memang hal ini tidak mudah mengingat bahwa teks sumber dan teks sasaran berasal dari dua bahasa yang berbeda sehingga bentuk dan strukturnya pun berbeda.

Apa sejatinya yang perlu dilakukan oleh penerjemah dalam menghasilkan kesepadanan formal? Ya, tentu ada beberapa cara yang bisa ditempuh oleh penerjemah dalam menghasilkan kesepadanan formal. Berikut adalah cara yang bisa dilakukan:
 

Unit gramatikal, misalnya penerjemahan nomina harus menjadi nomina, verba menjadi verba, semua frasa dan kalimat harus utuh. Pada tahapan ini, memang tidak mudah bagi penerjemah untuk mempertahankan kelas kata pada teks sumber ketika diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran;
Konsistensi pada pengguna kata. Pada tahapan ini, penerjemah harus mampu untuk menggunakan konsistensi penggunaan kata dalam teks sasaran;dan
Makna pada teks sumber tidak boleh membuat idiom ataupun menghasilkan ekspresi yang literal. Pada tahapan ini penerjemah perlu melihat bahwa jika dalam teks sumber mengungkap istilah yang berupa idiom, maka penerjemah tidak bisa sepenuhnya menerjemahkan dengan menggunakan penerjemahan literal atau kata per kata.
Jadi, bisa penulis simpulkan bahwa dalam mencapai kesepadanan formal, penerjemah perlu mengalihkan pesan dari TSu ke TSa dengan bentuk dan gaya yang sama. Kesepadanan ini bisa tercapai jika struktur gramatikal dalam TSu dan TSa sama. Hal ini tentu sangat berbeda dengan konsep kesepadanan dinamis yang diungkapkan oleh Nida. Kesepadanan dinamis fokus langsung kepada pesan dalam bahasa sumber untuk disampaikan kepada pembaca. Beberapa konsep yang perlu dipahami oleh penerjemah dalam menghasilkan kesepadanan dinamis.

(1)       Ekuivalensi, berkaitan dengan pesan pada bahasa sumber kepada pembaca. Pada tahapan ini penerjemah perlu memperhatikan penyampaian pesan yang ingin disampaikan oleh teks sumber sehingga pembaca dapat memahami maksud yang ingin disampaikan kepada pembaca;

(2)       Kewajaran yang mengacu kepada bahasa sasaran, meliputi penerima bahasa dan juga budaya secara keseluruhan, konteks, dan audiens. Artinya bahwa penerjemah harus mampu mengalihkan pesan secara wajar ke dalam bahasa sasaran sehingga dapat dipahami dengan baik oleh pembaca; dan

 (3)      Kedekatan yang berorientasi pada tingkat kedekatan penerjemahan dalam bahasa sasaran. Pada tahapan ini, penerjemah perlu mencari padanan kata yang betul-betul dekat dengan bahasa sasaran.

Berdasarkan konsep tadi, penulis dapat menyimpulkan orientasi dari kesepadanan dinamis adalah kepada pembaca. Kesepadanan dinamis bertujuan agar pembaca bisa memahami pesan yang ingin disampaikan oleh teks sumber tanpa mengurangi makna, namun menggunakan gaya yang berbeda dengan teks asli.

Berpijak dari perspektif terjemahan tersebut, penulis mencoba untuk melakukan ulasan terkait dengan penerjemahan istilah atau kosakata yang saat ini booming dan selalu digunakan di berbagai media. Penulis akan memberikan beberapa contoh:

1. Lockdown

Kata ini sering digunakan dalam pemberitaan baik media cetak maupun non cetak. Sebelumnya, kata ini jarang digunakan dan banyak publik yang belum memahami istilah tersebut. Dari bentuk kata, dapat dilihat bahwa istilah ini berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yaitu kata lock berupa verba yang memiliki makna “mengunci” dan down yang berupa adverbial yang memiliki makna “turun”. Jika penerjemah mengalihkan pesan secara literal, maka makna yang ditangkap oleh pembaca akan aneh dan tidak mencerminkan pesan yang ingin disampaikan dalam bahasa sumber. Oleh karena itu, penerjemah menggunakan istilah “karantina wilayah” untuk menggantikan kata lockdown. Terlihat sekali bahwa penerjemah menggunakan kesepadanan dinamis yang berorientasi pada pembaca sehingga pembaca memahami bahwa lockdown berarti karantina wilayah atau bisa diartikan bahwa kondisi atau situasi ini melarang warga untuk masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat

2. Stay at home

Dalam upaya menghentikan mata rantai penyebaran virus corona, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah tetap berada di rumah. Penggunaan istilah stay at home yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “di rumah saja”. Jika dilihat dari proses terjemahannya, maka dapat dilihat bahwa frasa “stay at home” terdiri dari beberapa kata, yaitu verba stay yang berarti “menetap atau tinggal”, at berupa preposisi yang berarti “di” dan home berupa nomina yang berarti “rumah”. Pada penerjemahannya, penerjemah bisa menggunakan kesepadanan formal karena teks sumber ini memiliki struktur yang sama persis dalam bahasa Indonesia. Namun, penerjemah lebih banyak menggunakan penerjemahan bebas dengan arti “di rumah saja” sebagai pengganti dari frasa stay at home.

3. Work From Home (WFH)

Istilah yang sering bdigunakan adalah WFH atau work from home yang diterjemahkan secara literal dengan arti “bekerja dari rumah”. Secara kesepadanan, tampak bahwa penerjemah tidak kesulitan untuk menggunakan kesepadanan formal karena bentuk dan struktur dalam bahasa Inggris sama dengan bahasa Indonesia sehingga dengan mudah makna ini dipahami oleh pembaca. Penggunaan istilah WFH ini mengacu pada kondisi yang mengharuskan karyawan atau pekerja atau yang lainnya agar tetap bekerja di rumah sebagai langkah memutus mata rantai virus COVID-19.

4. Learning From Home (LFH)

Istilah ini juga sering digunakan dan penerjemahannya sama dengan proses penerjemahan WFH. LFH atau learning from home yang diterjemahkan secara literal menjadi “belajar dari rumah”. Secara kesepadanan, tampak bahwa penerjemah tidak kesulitan untuk menggunakan kesepadanan formal karena bentuk dan struktur dalam bahasa Inggris sama dengan bahasa Indonesia sehingga makna ini dapat dipahami oleh pembaca dengam mudah. Penggunaan istilah LFH ini mengacu pada kondisi yang mengharuskan siswa agar tetap belajar di rumah sebagai langkah memutus mata rantai virus COVID-19.

5. Sosial distancing

Penggunaan istilah social distancing untuk merujuk pada penggunaan istilah agar menjaga jarak sosial dengan masyarakat atau orang lain. Kondisi ini sangat penting dilakukan mengingat bahwa penularan virus ini melalui interaksi dengan manusia yang lain sehingga perlu adanya pembatasan untuk bertemu atau berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat lainnya. Jika ditilik dari penerjemahan, maka terlihat bahwa frasa “social distancing” diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia yaitu “jaga jarak sosial”. Hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat perlu menjaga jarak dengan masyarakat yang lainnya. Pada penerjemahannya tersebut terlihat bahwa frasa social distancing terbentuk dari adjectiva social yang berarti “masyarakat” dan distancing berupa verba yang berarti “menjauhi”. Frasa ini lebih banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “jaga jarak sosial”. Terlihat sekali bahwa penerjemah lebih banyak menggunakan kesepadanan dinamis yang berorientasi pada pembaca.

Demikian tadi beberapa contoh penggunaan kosakata yang banyak digunakan oleh media. Sejatinya, media perlu berhati-hati dalam memberikan pemaknaan yang bisa dipahami kepada pembaca atau masyarakat umum sehingga tidak terjadi salah tafsir pada saat menyampaikan pesan. Mengingat pentingnya pemahaman tentang ekivalensi penerjemahan, maka media perlu memberikan arti yang sedekat-dekatnya dalam bahasa sasaran sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat dipahami dan dijalankan dengan baik oleh masyarakat. Hal ini sangat penting mengingat bahwa upaya media untuk menyebarkan informasi terkait dengan anjuran-anjuran pemerintah harus disampaikan kepada masyarakat dengan baik sehingga COVID-19 ini akan segera berakhir.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Sastra Universitas Pamulang 

Comment