Opini

Senin 22 Februari 2016 | 13:56 WIB

Laporan: Sukamta

Quo-Vadis Politik Mercu Suar Jokowi

Sukamta, Anggota Komisi I DPR RI dari PKS.

Visione- Satu tahun sudah pemerintahan Jokowi-JK berjalan. Pada awal-awal, pemerintahan ini disuguhi berbagai kegaduhan politik. Sebut saja kekacauan dalam pemilihan kepala kepolisian RI (Kapolri), pelemahan KPK, pemilihan jaksa agung, bahkan yang lebih miris adalah adanya menteri yang berani “menghina” presiden. Akibat ketidakharmonisan di kabinet dan kinerja yang tidak memuaskan, Jokowi akhirnya memandang perlu perombakan kabinet (reshuffle) di tahun pertama tersebut.

Pada awal-awal memerintah, Jokowi-JK tampak menjaga jarak dengan legislatif. Lembaga eksekutif seolah ingin mendelegitimasi kepemimpinan legislatif. Pemerintah ingin kerja sendiri tanpa melibatkan DPR, padahal itu tidak mungkin dilakukan karena segala program pemerintah harus mendapat persetujuan DPR. Komunikasi politik pemerintah saat itu dinilai kurang mencerminkan sosok kenegarawanan karena terkesan mau jalan sendiri. Kementerian dan lembaga-lembaga eksekutif dilarang memenuhi undangan rapat bersama DPR untuk membahas program-program pembangunan. Namun setelah ada kompromi dan musyawarah yang intensif antara koalisi merah putih (KMP) dan koalisi Indonesia hebat (KIH), pemerintah mulai membuka komunikasi dengan DPR.

Ternyata kegaduhan ini tidak hanya diciptakan pemerintah di lingkaran parlemen, tapi juga di tengah masyarakat. Hal ini terlihat dari cara pemerintah mengambil kebijakan. Disengaja atau tidak, setiap pemerintah ingin mengambil kebijakan, wacana dasar kebijakan yang akan dibahas di DPR digulirkan terlebih dahulu di tingkatan publik. Meski pernyataan rencana kebijakan tersebut tidak dari lisan Jokowi, namun partai pendukungnyalah yang mengemukakannya. Sehingga, terjadilah pro dan kontra di tengah masyarakat.

Kita tentu masih ingat isu kenaikan harga BBM yang berhembus kencang di awal pemerintahan.  Siakp pro dan kontra terjadi di tengah masyarakat, dan akhirnya Jokowi mengambil keputusan di saat-saat genting. Begitu juga saat Presiden Jokowi berniat menjadikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Rencana ini membuat kegaduhan yang pada akhirnya Jokowi membatalkan rencananya tersebut.

Pada prinsipnya, tidak salah bila model pengambilan kebijakan “diujicobakan” terlebih dahulu –jika tidak ingin disebut dibuat gaduh-- di masyarakat. Nah, setelah itu diambil keputusan sebagai jalan tengah. Dari sisi kebijakan publik, partisipasi masyarakat meningkat dan membuat mereka semakin sadar politik. Namun terkadang masyarakat tetap menjadi pihak yang dikorbankan dari sebuah kebijakan. Sejatinya Jokowi-JK sedang membangun sebuah sistem yang baru dan memperbaiki sistem yang lama. Ibaratnya pemerintah sedang merombak rumah yang lama dengan memugar pondasinya. Memugar inilah yang sulit karena perlu usaha untuk meminimalisir strategi salah urus.

Nawa Cita?

Nawa Cita yang menjadi misi Pemerintahan Jokowi-JK belum bisa dikatakan tercapai dengan baik. Di antaranya Nawa Cita butir I yang berbunyi: “Pemerintahan Jokowi-JK akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.”

Untuk membangun poros maritim dunia seperti visi Presiden Jokowi, tidak bisa pertahanan laut misalnya, dijaga dengan sekadarnya. Sampai sejauh ini, DPR sudah meningkatkan anggaran pertahanan khususnya di matra laut dan udara. Penguatan angkatan laut dan udara menjadi faktor pokok jika ingin poros maritim dunia terlaksana dengan baik. Jika tidak, poros maritim dunia hanya akan menjadikan Indonesia bancakan bangsa-bangsa lain yang sebetulnya lebih tepat disebut negara predator daripada negara mitra. Namun pemerintah justru mengusulkan penurunan anggaran pertahanan untuk tahun anggaran 2016. Selain itu, anggaran MEF (Minimum Essential Forces) tahap I yang belum seluruhnya terpenuhi, terlebih lagi anggaran MEF tahap II juga belum disepakati antara Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Pertahanan dan TNI. Di sinilah komitmen pemerintah untuk memperkuat pertahanan dipertanyakan. Apalagi mengingat sektor pertahanan adalah persoalan pokok yang harus diprioritaskan. Untuk apa rakyat sejahtera dan makmur tapi tidak bisa menikmati kesejahteraan tersebut karena negara tidak aman.

Yang lain adalah Nawa Cita butir ke-7 yang berbunyi “Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”. Menurut penulis,  kinerja untuk merealisasikan butir ini tidak sesuai dengan realita di lapangan. Justru pada praktiknya bangsa kita semakin jauh dari kemandirian. Pembiayaan infrastruktur digenjot dengan hutang dari Tiongkok.

Beberapa waktu lalu beredar informasi bahwa pemerintah akan mendapatkan utang dari Tiongkok sebesar Rp625 triliun untuk pembiayaan proyek infrastruktur. Dari situs Sekretariat Kabinet disebutkan, proyek infrastruktur yang menggandeng Tiongkok meliputi pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara (bandara), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 mega watt (MW) serta pembangunan jalur kereta api super cepat Jakarta - Bandung dan Jakarta - Surabaya. Selain itu, untuk membiayai proyek infrastruktur ini, 3 bank BUMN yaitu Bank Mandiri, BNI dan BRI mendapat utang senilai USD3 miliar, atau sekitar Rp42 triliun dari Bank Pembangunan China (China Development Bank/CDB).

Sebagai catatan, berdasarkan data yang dikutip dari situs resmi Kementerian Keuangan utang pemerintah per Juli 2015 tercatat Rp2.911,41 triliun. Dengan demikian, dari Januari hingga Agustus 2015, utang pemerintah bertambah hingga Rp397 triliun. Jumlah utang Rp3.005 triliun itu terdiri dari pinjaman sebesar Rp729,42 triliun (24,3%) dan surat berharga Rp2.276,10 triliun (75,7%).

Menurut kalkulasi pemerintah, rasio utang Indonesia pada tahun ini akan berada pada kisaran 25% dari PDB, masih lebih rendah dibandingkan banyak negara lainnya. Dengan asumsi PDB nominal sebesar Rp11.701 triliun, total utang pemerintah pusat pada akhir 2015 ditaksir mencapai Rp2.891 triliun. Sebuah nominal utang yang sulit dibayangkan kapan dan bagaimana itu bisa dilunasi. Bahkan sebagian pengamat mulai membandingkan bahwa utang pemerintah Jokowi ini lebih besar dibanding dengan utang yang masuk ke negara pada masa Presiden Suharto yang berkuasa 32 tahun.

Utang untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur ini termasuk utang produktif. Kita lihat saja ke depan semoga utang ini mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan memperkuat kedaulatan NKRI. Jika tidak, itu sama saja dengan “menjual” negara kepada asing.

Program Mercu Suar.

Proyek pembangunan infrastruktur seperti Bendungan Jatigede, Waduk Nipah Sampang, PLTU Batang, Tol Becak Kayu (Bekasi-Kampung Melayu), LRT, jalur rel kereta api Manggarai-Cikarang, Jalan Tol Solo-Kertosono, Jalan Tol Cikopo-Palimanan, Jalan Tol Pemalang-Batang, dan yang lainnya dikebut oleh pemerintahan Jokowi-JK. Efek positif adanya pembangunan infrastruktur ini mungkin tidak akan dirasakan secara langsung sekarang, tapi pada tahun-tahun yang akan datang. Kemegahan infrastruktur nantinya perlu dikritisi karena pembiayaannya dilakukan dengan utang luar negeri. Kekhawatiran rakyat tidak berlebihan karena utang ini berpeluang menghasilkan dampak negatif pada generasi nanti. Jangan sampai ini jadi semacam politik mercu suar, terlihat indah dan megah, tapi hanya tampilannya saja, tidak dengan isinya. Memang kalau pembangunan bergantung pada utang sangat beresiko. Beberapa tahun ke depan kita akan merasakan kenyamanannya, tapi puluhan tahun ke depan bisa saja generasi yang akan datang merasakan sengsaranya.

Akhirnya, kita berharap pemerintahan Jokowi-JK hendaknya perlu meninjau ulang langkah-langkah yang sudah diambil selama 1 tahun belakangan ini, khususnya soal utang luar negeri dan langkah-langkah yang inkonstitusional. Dapatkah soal utang ke asing direnegosiasi ulang khususnya utang dari Tiongkok yang demikian besar? Selain itu, kita hargai kreativitas pemerintah dalam membuat dan menjalankan roda pemerintahan, tapi satu hal yang harus diperhatikan adalah jangan sampai melabrak peraturan dan perundang-undangan yang ada. Karena jika kita tidak berpedoman pada konstitusi, lalu mau berpedoman pada apa? (amr)

*Penulis adalah Anggota Komisi I DPR RI, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Comment