Opini
Kamis 07 Februari 2019 | 09:45 WIB
Laporan: Sugeng Riyanto
Menjadi Guru Milenial di Era Revolusi Industri 4.0

Guru adalah pekerjaan yang mulia. Guru di rezim orde baru mendapat penghormatan yang tinggi dengan pendapatan seadanya. Berbanding terbalik dengan kondisi yang ada pada saat ini. Banyak orang yang ingin menjadi Guru, terutama Guru ASN (Aparatur Sipil Negara). Faktor utamanya tentu pendapatan menjadi Guru ASN sangat menggiurkan. Dengan jaminan dan tunjangan ini itu, seseorang yang sudah menjadi Guru ASN cendrung lalai dari tugas dan tanggung jawab, walapun tidak dapat dipukul rata, namun itulah realita.
GURU SEADANYA
Berkaca pada kondisi kekinian, Guru sebagai ujung tombak perubahan bangsa idealnya dapat melakukan filter serta counter dari gempuran budaya luar. Derasnya arus informasi yang sangat mudah diakses oleh peserta didik. Maka membuat mereka lebih lihai dalam memanfaatkan teknologi, namun jauh dari kata bijak dalam pemanfaatnya hingga menyebabkan kekisruhan pola pikir yang cukup serius. Bayangkan anak usia kelas 4 SD namun dengan cukup apik menceritan alur serial drama Korea, menyebutkan personil “K-pok” dan dapat mengartikan lirik romatis dari lagu-lagu Korea. Ada pontensi yang tersimpan dari minat dan kelihaian anak-anak dalam menggunakan teknologi informasi. Namun sayang Guru yang sudah terlanjut berselimut di dalam safety zone alias zona nyama. Seolah buta dengan kondisi kekinian yang jauh dari nilai budaya bangsa berlaku sopan dan berkata santun. Tidak semua acuh, namun banyak yang sadar akan hal itu. Tetapi kesadaran itu hanya berhenti pada tingkat keluhan yang bingsing di kantin-kantin sekolah, pengiring makan siang.
Demikian kita Guru saat ini yang cendrung acuh bahkan mengeluh dengan masalah yang hadapi. Guru seorang kehilangan semangat solusi dan bersaing untuk melahirkan anak didik yang mampu kompetitif dalam bidang pengetahuan atau soft skill. Inilah kita Guru seadanya, yang mengeluh ketika pemerintah menyempurnakan kurikulum lama dengan kurikulum terbaru. Tanpa ada niatan untuk mempelajari bahkan memodifikasi agar lebih mudah disampaikan peserta didik.
Bak virus yang menular, mental safety zone ini juga menjangkit ke generasi Guru muda yang penulis sebut dengan istilah Guru milenial. Bukannya mencerinkan mental Guru yang berkemajuan, Guru-Guru milenial ini cerdung copy paste mental pendahulnya yaitu acuh dan pengeluh. Tidak semua tapi cukup untuk dikatakan mayoritas. Lalu bagaimana nasib kita Indonesia sebagai Negara yang harus mengelola sumber daya manusia agar tidak melewatkan bonus demografi tahun 2030 kedepan?. Tentu pemerintah khususnya kementrian pendidikan harus lebih banyak melihat mutu para ujung tobaknya, serta mendengar banyak masukan dari pelaku dan mengguna jasa pendidikan (Red : masyarakat).
SELEKTIF UNTUK SDM YANG KOMPETITIF
Pemerintahn ataupun lembaga pendidikan yang ingin menghasilkan lulusan yang kompetitif tentu harus selektif dalam rekrutmen tenaga kependidikan dalam hal ini Guru. Seseorang yang akan direkrut menjadi Guru harus melewati fase-fase test. Baik test wawasan, kepribadiaan dan kompetensi. Ini sangat urgent mengingat Guru diibaratkan pengrajin gerabah, dari tangannyalah lahir gerabah-gerabah terbaik atau terburuk nantinya. Mungkin hal ini sangat normatif untuk lembaga pendidikan unggulan tapi tidak untuk institusi pendidikan yang ada dibawah pemerintah. Kondisi dilapangan terkait rekruktmen Guru seolah diabaikan, jikapun ada hanya sebatas formalitas. Inilah rahasia umum yang sedikit menghawatirkan. Seseorang bakal calon Guru akan diterima begitu saja asalkan ini memiliki kertas sakti yang disebut ijazah S-1 kependidikan.
Secara legalitas formal memang dibutuhkan untuk persyaratan administrative. Tapi yang perlu digaris bawahi adalah meminjam isitilah Rocky Gerung (mantan pengajar Universitan Indonesia), “ijazah adalah tanda ia pernah sekolah, bukan pernah berfikir.” Jadi bukan dengan serta merta seorang yang mempunyai ijazah kependidikan dapat menjadi Guru yang ideal. Bisa jadi ia adalah pembelajar yang baik tapi ia bukan pengajar yang baik. Jadi institusi pendidikan harus dengan cermat melakukan rekrutmen keanggotannya. Jika tidak, berarti ia telah menghambat bahkan menghentikan proses kemajuan bangsa menuju era emas Indonesia yaitu bonus demografi 2030. Bonus demografi adalah kondisi dimana suatu bangsa memiliki penduduk dengan usia produktif yang sangat melimpah. Bayangkan jika kita tidak bersiap dari sekarang, bisa jadi penduduk usia produktif Indonesia di era itu hanya menjadi tenaga kasar dalam negeri, seperti istilah klasik jadi babu di rumahnya sendiri.
Lalu bagaiman jika ditemukan bakal calon Guru yang tidak memiliki kompentensi. Tentu pemerintah harus memikirkan jalan keluarnya dengan sangat jauh, jangan hanya menerimanya. Bakal calon Guru itu harus menerima pelatihan dengan waktu yang sudah ditentukan, dengan harapan tercapai kompetensi yang diinginkan. Jika tidak tercapai instansi tersebut harus dengan tegas menolak bakal calon Guru tersebut untuk bergabung di instasinya. Ini sebagai bukti upaya mempertahankan kualitas dan untuk mencegah budaya “pemakluman” yang sangat dekat dengan tradisi kelam masa lalu yaitu KKN. Dengan demikian, instansi pendidikan pada mempertahan atau penghasilkan lulusan yang kompetitif karena selektif dalam rekrutmen.
MENJADI GURU MILENIAL DI ERA REVOLUSI 4.0
Guru yang mendidik generasi milenial harus paham dan mau paham akan kondisi generasi milenial. Generasi milenial adalah generasi dengan kecepatan tinggi dalam hal teknologi informasi. Jika Guru hanya bermodal pengetahuan satu buku, maka generasi milenial tidak akan tertarik. Karena ia akan sangat mudah mencari lima atau sepuluh buku dari internet guna menandingi buku yang dimiliki Gurunya. Generasi milenial adalah generasi yang bertanya out of the book, ia tidak tertarik dengan materi-materi yang dibawakan dengan cara konvensional dan kaku.
Dalam hemat penulis, generasi milenial adalah generasi yang tidak membutuhkan “Guru” untuk tahu sebuah informasi, tapi generasi milenial sangat membutuhkan Guru pembimbing untuk menjadi pribadi yang bermoral. Inilah bedanya sekolah sebagai institusi pendidikan berjenjang dengan lembaga bimbingan belajar. Sekolah adalah tempat dimana siswa dapat mengases pengetahuan dan mendapatkan bimbingan moral, namun lembaga bimbingan belajar hanya berorientasi pada keterampilan semata. Bukan berarti seorang Guru tidak perlu cerdas dan menguasi pengetahua umum. Seorang Guru yang cerdas dan mampu menguasi pengetahuan umum sangat diperlukan guna melakukan menganalisis, pemetaan, menerapkan serta mengevaluasi tindakan penyelesaian masalah yang dipilih.
Menjadi Guru milenial juga harus dapat mengimbangi kecepatan siswa dalam mengakse informasi yang menarik. Kemampuan ini sangat diperlukan untuk melakukan filter sekaligus counter dari kuatnya arus informasi budaya asing. Guru tidak lagi mengkambing hitamkan teknolgi informasi atas ketidak tercapaian hasil belajar. Tapi Guru harus merefleksikan teknolgi informasi apa yang belum dielaborasikan dalam kegiatan pembejaran. Namun perlu yang perlu diingat adalah kemampuan menggunakan teknologi bukan berarti menimbulkan sikap manja dan menginggalkan kompetensi dasar dalam pengajaran. Teknolgi hanya bersifat stimulus dari kreatifitas, bukan menjadi ketergantungan. Maka penulis juga mengusulkan secara periodik rotasi Guru perkotan ke desa-desa untuk mempertahankan daya kreatifitas dan inovasi dalam mengajar.
Guru milenial juga tidak boleh kaku dalam mengambil keputusan, dan bukan berarti tidak memiliki pendirian. Ia harus mampu mencari problem solfing ditengah masyarakat temapt ia mengajar. Namun dalam kenyataan sangat sulit dicapai, jauhnya sekolah dengan tempat tinggal Guru menyebabkan berbedaan kultur. Sebenarnya perbedaan ini dapat diatasi jik Guru dapat menjadi komunikasi dengan masyarakat melalui perantara orang tua siswa. Namun nyatanya skill Guru dalam bermsyarakat juga cukup mengkhawatirkan. Tembok-tembok serta gerbang yang besar menjadi pembatas antara Guru dan lingkungan. Yang harusnya tidak demikian, karena pendidikan tidak akan pernah lepas dari lingkungan. Maka upaya menyelesaikan personal ini, Guru harus memiliki keterampilan bersosial yang menekankan solusi dari permasalahan masyarakat bukan hanya basa-basi semata. Dan dukungan pemerintah dalam upaya menyelesaikan persoalan jarak sekolah dan tempat tinggal Guru dengan serius.
Dengan adanya Guru milenial yang tetap memiliki nilai luhur “ke-Guru-an” seperti yang telah kita bahas. Makah hal ini dapat mendukung pemaksimalan pengolah generasi emas guna menyongsong revolusi industri 4.0 dan bonus demografi Indonesia.
Penulis adalah Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Purna Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan Kemenporan ke XXIV. Praktisi pendidikan.
Comment