Pencerah
Senin 22 Februari 2016 | 22:45 WIB
Laporan: Edise
RA. Kartini: Penggugah Emansipasi Perempuan

Visione.co.id - Emansipasi dalam masa kini menjadi bagian dari motivasi perempuan Indonesia. Emansipasi wanita ialah proses pelesapan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Dan bicara emansipasi wanita, maka pasti membicarakan Kartini, seorang wanita priyayi Jawa yang memiliki pemikiran maju di masanya yang kemudian diangkat namanya menjadi penggerak emansipasi wanita Indonesia, berkat surat-surat korespondennya pada sahabat Belandanya yang kemudian diangkat menjadi sebuah buku berjudul ‘Habis Terang Terbitlah Terang’.
Emansipasi dan apa yang dimaksudkan oleh Kartini adalah agar wanita mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan, seluas-luasnya, setinggitingginya. Agar wanita juga di akui kecerdasannya dan diberi kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya dan Agar wanita tidak merendahkan dan di rendahkan derajatnya di mata pria. Dalam hal ini tidak ada perkara yang menyatakan bahwa wanita menginginkan kesamaan hak keseluruhan dari pria, karena pada hakikatnya pria dan wanita memliki kelebihannya masing- masing.
Banyak orang yang kagum dengan RA Kartini. Hal tersebut dikarenakan wanita yang satu ini memang memiliki banyak sekali pandangan baru terhadap peran wanita pada masa kolonial. Wanita yang lahir pada tahun 1879 dan meninggal pada tahun 1904. Wanita ini lahir di Jepara dan meninggal di kota Rembang. Sangat disayangkan jika wanita yang sangat cerdas ini harus meninggal pada usia yang sangat muda yaitu 25 tahun.
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia lahir pada tahun 1879 di kota Rembang . Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Dalam beberapa sumber biografi RA Kartini disebutkan jika wanita ini tidak mendapatkan pendidikan formil yang tinggi. Kartini hanya mampu sekolah hingga usia 12 tahun. Akan tetapi, masa sekolah tersebut memberikan banyak manfaat dimana dia bisa belajar bahasa Belanda dengan baik. Setelah bisa berbahasa Belanda dengan baik, wanita ini sering mengirim surat ke beberapa media yang ada di Belanda. Ada banyak sekali orang yang kagum dengan tulisan yang dibuat oleh Kartini. Hal tersebut dikarenakan pada saat ini dia lah wanita pertama pribumi Indonesia yang rutin mengirim surat ke Belanda.
Salah satu surat yang dibuat oleh Kartini adalah habis gelap terbitlah terang. Surat yang satu ini menjadi sangat terkenal dan menjadi banyak bahasan para ahli. Dalam profil dan biografi RA Kartini disebutkan jika surat tersebut adalah sebuah simbol jika wanita pribumi harus maju dan bisa menjadi lebih baik. Para wanita harus mendapatkan pendidikan yang layak dan sama dengan kaum pria. Memang pada saat itu hanya pria yang banyak mendapatkan pendidikan layak. Sedangkan para wanita lebih banyak berdiam diri dan menikah pada usia yang muda. Pandangan Kartini tersebut mendapatkan banyak apresiasi dan sampai sekarang negeri ini selalu mengenang wanita yang hebat ini.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus.
Emansipasi wanita sebuah padangan yang muncul ketika kita mendengar nama beliau Ibu RA. Kartini. Seorang sosok pejuang wanita yang gigih untuk memperjuangkan kaumnya, yaitu kaum wanita yang ketika jaman beliau dulu wanita selalu dipandang sebagai kaum lemah yang tugasnya hanya bekerja diapur dan mengurus rumah tangga. Tapi berkat beliau kaum wanita bisa menunjukkan bahwa mereka juga adalah kaum yang menentukan, pantas untuk memimpin dan revolisioner.
Emansipasi wanita bukanlah hal yang jelek bila kita mampu memaknainya dengan benar, seperti asa nan diperjuangkan Kartini. Raden Ajeng Kartini telah sukses melepaskan rantai nan membuat wanita berada dalam keterkungkungan. Tugas kaum wanita sekarang hanya melanjutkan dan memanfaatkan apa yang telah diperjuangkan oleh Kartini, agar dapat berperan aktif dalam pembangunan, dalam menciptakan generasi madani yang unggul.
Generasi yang mampu melindungi dirinya dari pengaruh jelek lingkungan dan teknologi. Generasi nan mampu memilah dan memilih, dan generasi yang mampu menciptakan lapangan kerja. Wanita saat ini telah diposisikan pada tugas-tugas yang mulia, dijaga sedemikian rupa kehormatannya, dilindungi keselamatannya dengan undang-undang, dan dihargai di hadapan publik. Sebuah kondisi nan patut kita syukuri dan kita nikmati. Banyak hal yang sesungguhnya bisa dilakukan kaum wanita yang belum tentu bisa dilakukan kaum pria. Kodratnya sebagai seorang ibu yang tertempa melalui lika-liku hayati yang timbul dalam rumah tangganya, telah membuat wanita menjadi sosok yang kuat. Sosok yang mampu memecahkan karang sekeras apapun dengan kelembutannya. Di manapun kita bisa berkarya tanpa melepaskan tanggungjawab kita sebagai seorang ibu, istri, guru, dan sahabat buat suami dan anak-anak. Itulah citra tentang emansipasi wanita dulu dan kini. Emansipasi wanita di era Raden Ajeng Kartini dan era wanita-wanita modern saat ini.[Edise]
(Dari berbagai sumber)
Comment