Liputan Khusus

Rabu 24 Februari 2016 | 06:41 WIB

Laporan: Ma'ruf al-Bugury

Industri Kreatif sebagai Sumber Ekonomi Baru

industri kreatif pedesaan

Jakarta, visione – Ketika disinggung soal kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang tengah mengalami perlambatan dan bahkan mengarah pada krisis, pemerintah seringkali berkilah bila pemicunya adalah faktor eksternal. Presiden Jokowi misalnya, menilai saat ini Indonesia memang menghadapi perlambatan ekonomi, bukannya krisis ekonomi seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. “Kita sedang menghadapi perlambatan ekonomi, hati-hati jangan bilang krisis ekonomi,” kilah Jokowi dalam acara rapat kerja nasional Partai NasDem di Jakarta, pada Senin (21/9). 

Lebih lanjut Sang kepala negara menjelaskan, bila faktor terbesar terjadinya perlambatan ekonomi Indonesia adalah berasal dari faktor eksternal. Menurutnya, tantangan negara saat ini adalah tingginya angka impor pangan. Di tahun 2014 misalnya, Indonesia bahkan telah mengimpor 7,4 juta ton gandum, 3,2 juta ton gula, dan 3,3 juta ton jagung. Apa hubungannya dengan perlambatan ekonomi? Kata Jokowi, kegoncangan neraca perdagangan yang selama ini terjadi adalah akrena selama ini semua produk utama pangan tersebut harus kita beli pakai dolar. 

Senada dengan Jokowi, Wapres Jusuf Kalla juga mengatakan, bila pelambatan pertumbuhan ekonomi saat ini lebih diakibatkan oleh faktor eksternal. “Suasana ekonomi dunia memang melemah. Dengan segala upaya kita masih beruntung dibanding banyak negara-negara yang tidak bisa mencapai angka itu,” ujar Kalla di Kantor Wapres (8/8/2015).

Pun demikian dikatakan Menko Perekonomian Sofyan Djalil, menurutnya pelambatan ekonomi lebih disebabkan oleh faktor eksternal berupa menurunnya perekonomian pasar potensial yang terutama dari Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi China saat ini berada di kisaran 7 persen. Kemudian, pelemahan ekonomi juga ditekan oleh melemahnya harga komoditas. “Harga murah, tim ekonomi tak bisa menaikan harga internasional,” ungkapnya.

Gelombang PHK

Seumpama mencari siapa penebar paku di jalanan, yang meski kita tahu siapa pelakukanya, namun si pelaku tak pernah mau mengakui bila penyebab kebocoran ban kendaraan kita adalah paku yang telah ditebarnya di jalanan. Lalu daripada berdebat siapa yang telah menebar paku, si pengendara pun memilih untuk segera menambalnya.

Pun demikian dengan pelambatan perekonomian nasional, pada akhirnya kita pun harus realistis dan menghadapi krisis. Karena ternyata, krisis yang terjadi telah mulai berdampak ke sektor riil. Bahkan ada perusahaan yang akhirnya harus mengambil langkah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawannya. Kata Hanif Dahiri, secara umum pemutusan hubungan kerja ini disebabkan adanya perlambatan ekonomi. Menurut Hanif dari data yang diperolehnya menunjukan bahwa untuk saat ini sudah ada 26.506 karyawan yang terkena PHK di Indonesia per Agustus 2015. Dimana daerah dengan jumlah PHK paling besar adalah provinsi Jawa Barat dengan 12.000 orang. Selanjutnya adalah Banten dengan jumlah 5.424 orang, Jawa Timur 3.219 orang, Kalimantan Timur 3.128 orang, dan DKI Jakarta 1.430 orang.

PHK yang teradi ini memang menyebar di berbagai industry. Dimana yang paling besar adalah industry pada karya, diantaranya adlah garmen dan tekstil. Kemudian di industry logam dan sepatu. Alasannya adalah sepinya pesanan, sehingga membuat perusahaan tutup. “Karena tida ada order barang ini terutama terjadi pada penyerapan pasar terhadap produk unggulan seperti garmen tekstil, industry logam dan sepatu,” ungkap Hanif. 

Alasan lainnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak diperpanjang, perusahaan mengakiri perpanjangan kontrak kepada pihak ketiga (outsourcing), kurang efisien dan pekerja tidak bersedia pindah lokasi.

Sementara itu dari data yang berhasil dikumpulkan, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat ada sekitar 62 ribu anggotanya yang kini telah di-PHK. Rinciannya; di Jawa Timur setidaknya ada 23.014 orang pekerja pabrik rokok, makanan, dan minuman serta 1.245 dari sektor logam elektrik dipecat. Di Jawa Tengah ada sebanyak 4.200 pekerja industri rokok, makanan, dan minuman serta 1.375 pekerja tekstil sandang dan kulit di-PHK. Di Banten, ada sebanyak 3.130 orang di sektor tekstil sandang dan kulit harus kehilangan pekerjaan, sedangkan di energi tambang sebanyak 2.395 orang.

Langkah antisipatif

Kemenko Perekonomian sendiri sebetulnya sudah merencanakan akan menyediakan sejumlah langkah antisipasi, yang diantaranya adalah menyediakan fasilitas kredit usaha bagi perusahaan yang terancam bangkrut. Fasilitas kredit tersebut menjadi salah satu isi kebijakan dalam paket kredit tersebut akan menolong dunia usaha untuk tetap berproduksi. Dengan demikian PHK dapat dicegah.

Hanya saja, pemberian kredit ini tentu harus sangat selektif dan diberikan pada usaha-usaha yang benar-benar membutuhkan, dan terdampak pelemahan ekonomi. Jangan sampai fasilitas ini justru jatuh pada mereka yang sebetulnya tak perlu dibantu. Fasilitas kredit ini mestinya difokuskan pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah serta basis-basis ekonomi kreatif lainnya baik yang berbasih home industri, pertanian, perikanan maupun teknologi.

Bangsa ini tentu masih ingat betul, bila setiap kali pemberian bantuan kredit sebagai bentuk antisipasi pemerintah terhadap krisis yang terjadi seringkali tidak tepat sasaran dan celakanya malah melahirkan sejumlah skandal baru. Sebut saja skandal BLBI dan Bank Century, keduanya bagai labirin yang tiada ujung. Dan lagi-lagi dengan amat terpaksa harus kita sebut tak ubahnya seperti ‘sandiwara para penebar paku di jalanan’.

Dalam beberapa hari ke depan, kita tentu amat berharap, jika pemerintah segera melakukan terobosan-terobosan lain untuk mencegah makin membesarnya gelombang PHK. Bisa jadi, para pemilik Jaminan Hari Tua (JHT), Deposito, asuransi, ataupun surat berharga lainnya dalam beberapa waktu ke depan akan melaksanakan nasihat Jeck Welch, bahwa dalam dalam situasi yang sulit “Cash Is King”. Perbanyaklah uang cash dan tabungan likuid. Karena dengan memiliki uang cash, kompetisi apa pun akan dimenangkan meski dalam situasi sulit sekalipun. 

Hal lain yang tak kalah penting adalah meningatkan kewaspadaan dan antisipasi gejolak di tengah masyarakat. Disadari atau tidak, gesekan yang terjadi antara para penjaja jasa ojek pangkalan (opang) dengan ojek online (Gojek) merupakan salah satu dari sekian efek yang disebabkan oleh maraknya PHK di Indonesia. Para pekerja yang terkena imbas pemotongan biaya produksi (PHK), dengan sangat terpaksa beramai-ramai mendaftar Gojek dan mulai beroperasi di sudut-sudut kota Jakarta. Sementara tukang ojek pangkalan yang merasa telah menggantungkan nasibnya bertahun-tahun dari profesi opang, mulai merasa terdesak dan berkurang penghasilannya.

Kita memang harus percaya, bila pemerintah tentu tidak akan diam dan melakukan langkah-langkah antisipatif untuk mencegak PHK. Karena memang tidak ada alasan lagi untuk berkilah, bila PHK memang kian nyata.

Ekonomi Kreatif sebagai solusi?

Dalam pelambatan ekonomi yang kian nyata, dan gelombang PHK yang semakin besar, pengembangan ekonomi kreatif tampaknya dapat menjadi salah satu langkah alternatif. Kepala badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf mengatakan bila industry yang diurusinya sedang diuji pelambatan ekonomi Indonesia. ayah dari Sherina Munaf ini berharap, mseki situasi sedang lesu, pelaku ekonomi kreatif bisa tetap menelurkan karya kreatifnya. “Mudah-mudahan krisis ada hikmahnya. Krisis saat ini bisa timbulkan kreasi yang belum terpikirkan selama ini,” katanya (9/9).

Pada saat krisis 1998, Indonesia dihadapkan dengan tantangan yang sangat berat, namun kata Triawan, saat itu masyarakat bisa bertahan dengan guliran para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM). Dan oleh karena itu Triawan Munaf berharap bila para pelaku ekonomi kreatif saat ini bisa mengambil pelajaran dari krisis 1998 silam. “Pelaku ekonomi kreatif harus kembangkan cara-cara modern, ini harus jadi tulang punggung,” ujar Triawan.

Untuk jenis-jenis kerajinan ekonomi kreatif sendiri, dapat berupa usaha kerajinan, fotografi, film, usaha computer, dan desain. Apalagi dengan tersedianya piranti lunak dan aplikasi (software) opensource, yang dengan mudah dan murah didapat untuk menunjang usaha ekonomi kreatif. 

Rumusan sederhanya adalah untuk memulai usaha ekonomi kreatif, diperlukan adanya kemampuan yang cukup untuk memulai usaha. Kemampuan yang tak hanya berupa modal usaha, melainkan juga kreativitas. Sebagai modal yang tak terhingga, kreativitas diyakini akan menjadi kekuatan yang mendobrak ketidakberdayaan negara, dan membawa kita pada kemakmuran. Dan oleh karena itu, sebelum resesi dan stagflasi merontokkan bangunan ekonomi negeri ini, fondasi ekonomi harus diperkuat, sementara lembaga keuangan mikro didorong untuk fokus kepada sektor riil. [Mrf]

TAG BERITA

Comment