Liputan Khusus

Selasa 15 Maret 2016 | 11:02 WIB

Laporan: eci

Pendidikan Karakter sebagai Solusi Keadaban Masyarakat

Iustrasi

Visione.co.id-Saat ini kita digegerkan dengan keberadaan pesta bikini yang dilakukan oknum event organizer yang mengatasnamakan sekolah. Sungguh ironis sekali kearifan dari keanekaragaman nilai moralitas dan budaya santun nampaknya mulai kehilangan ruh geraknya. Padahal bangsa timur selalu mengedepankan keadaban moral dalam riuh bermasyarakat. Oleh karena itu nampaknya persoalan pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat.

Tidak hanya itu kita masih diliputi kecemasan pada konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Untuk itu perlunya pendidikan karakter bukan hanya sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihakan yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia.

Perlunya pelayanan yang terbaik kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan sehingga terwujud masyarakat yang ”beradab” yang mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka.

Kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut diselenggarakannya pendidikan karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu--seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil–dan membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.

Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for Character Education). Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.

Jhon Dewey menyebutnya “Education is not a preparation of life, but it’s life itself”. Ketika beliau berusaha menjelaskan tentang ranah pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan adalah kehidupan. Oleh karena itu, benar kata WS Rendra dalam salah satu puisinya telah mempertanyakan tentang adanya “papan tulis-papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan”. Mengapa? Proses pendidikan di sekolah ternyata masih lebih mengutamakan aspek kognitifnya ketimbang afektif dan psikomotoriknya. Bahkan konon Ujian Nasional pun lebih mementingkan aspek intelektualnya ketimbang aspek kejujurannya. Konon tingkat kejujuran Ujian Nasional itu hanyalah 20%, karena masih banyak peserta didik yang menyontek dalam pelbagai cara dalam mengerjakan Ujian Nasional itu.

Bahkan Daniel Goleman dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), dia mengingatkan kepada kita bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja. Dalam hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. Maka terpikirlah oleh para cerdik pandai tentang apa yang dikenal dengan pendidikan karakter (character education).

Lalu pilar karakter yang mana yang harus dikembangkan di Indonesia? Sesungguhnya semua pilar karakter tersebut memang harus dikembangkan secara holistik melalui sistem pendidikan nasional di negeri ini. Namun, secara spesifik memang juga ada pilar-pilar yang perlu memperoleh penekanan. Sebagai contoh, pilar karakter kejujuran (honesty) sudah pasti haruslah lebih mendapatkan penekanan, karena negeri ini masih banyak tindak KKN dan korupsi.

Demikian juga dengan pilar keadilan (fairness) juga harus lebih memperoleh penekanan, karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hukum kita masih belum menyentuh aspek keadilan masyarakat. Hukum kita tajam ke bawah tumpul ke atas. Selain itu, fenomena tawuran antarwarga, antar pendukung, antarmahasiswa, dan antaretnis, juga sangat memerlukan pilar karakter toleransi (tolerance), rasa hormat (respect), dan persamaan (equality).

Untuk tujuan khusus, misalnya membangkitkan semangat bagi para olahragawan yang akan bertanding di tingkat internasional, maka pilar rasa percaya diri (trustworthiness) dan keberanian (courage) juga harus mendapatkan penekanan tersendiri. Akhirnya, dengan pendidikan yang dapat meningkatkan semua potensi kecerdasan anak-anak bangsa, dan dilandasi dengan pendidikan karakternya, diharapkan anak-anak bangsa di masa depan akan memiliki daya saing yang tinggi untuk hidup damai, sejahtera dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang semakin maju dan beradab.

Comment